Sabtu, 05 Juni 2010

Pengantar Pendidikan

Pengantar Pendidikan

1. Pengertian pendidikan dan pengajaran

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

Inti pendidikan (secara formal) adalah mengajar, sedangkan inti pengajaran adalah belajar. Dalam pendidikan terlibat komponen-komponen: mengajar dan belajar. Mengajar terdapat guru, sedangkan belajar terdapat murid. Hadiyanto (2006) menyebut kedua hal itu sebagai proses belajar-mengajar, yang dijelaskan sebagai interaksi antara guru (pembelajar) dengaan murid (pebelajar) secara timbal balik berdasarkan seperangkat kurikulum yang didukung oleh sarana dan prasarana.

Sejalan dengan Hadiyanto, Purwanto (2006) menjelaskan bahwa dalam pengajaran terdapat guru dan murid, tujuan, bahan ajar, sarana dan prasana, metode, dan penilaian. Purwanto memandang bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.

Dengan demikian, pengajaran adalah proses interaksi antara guru dan murid untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan kurikulum yang berlaku.


2. Subjek Pendidikan

Tujuan Pendidikan

Dasar utama tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, keterampilan, pengetahuan, serta pertimbangan, dan kebijaksanaan.


Objek dan Subjek Pendidikan

A. Objek

Yang dimaksud dengan objek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian/pengamatan, karena pihak penilai/evaluator ingin memperoleh informasi tentang kegiatan/proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui objek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu segi input; transformasi; dan output.

1. Input

Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah, input tidak lain adalah calon siswa. Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinjau dari segi yang menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup 4 hal.

a. Kemampuan

Untuk dapat mengikuti program pendidikan suatu lembaga/sekolah/institusi maka calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sepadan atau memadai, sehingga nantinya peserta didik tidak akan mengalami hambatan atau kesulitan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan ini disebut Attitude Test.

b. Kepribadian

Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu, informasi tentang kepribadian sangat diperlukan, sebab baik-buruknya kepribadian secara psikologis akan dapat mempengaruhi mereka dalam mengikuti program pendidikan. Alat untuk mengetahui kepribadian seseorang disebut Personality Test.

c. Sikap

Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap seseorang dinamakan Attitude Test. Oleh karena tes ini berupa skala, maka disebut dengan Attitude Scale.

d. Inteligensi

Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang digunakan tes inteligensi yang sudah banyak diciptakan oleh para ahli. Seperti, tes Binet-Simon (buatan Binet dan Simon), SPM, Tintum, dsb. Dari hasil tes akan diketahui IQ (intelligence Qoutient) yaitu angka yang menunjukkan tinggi rendahnya inteligensi seseorang tersebut.







2. Transformasi

Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai “mesin pengolah bahan mentah menjadi bahan jadi”, akan memegang peranan yang sangat penting. Ia dapat menjadi faktor penentu yang dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan; karena itu objek-objek yang termasuk dalam transformasi itu perlu dinilai/dievaluasi secara berkesinambungan. Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan antara lain:

a. Kurikulum/materi pelajaran,

b. Metode pengajaran dan cara penilaian,

c. Sarana pendidikan/media pendidikan,

d. Sistem administrasi,

e. Guru dan personal lainnya dalam proses pendidikan.

3. Output

Sasaran evaluasi dari segi output adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih peserta didik setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Alat yang digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut Achievement Test.

B. Subjek

Subjek/pelaku evaluasi adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang dapat disebut subjek evaluasi untuk setiap tes ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku, karena tidak setiap orang dapat melakukannnya.

Dalam kegiatan evaluasi pendidikan di mana sasaran evaluasinya adalah sasaran belajar, maka subjek evaluasinya adalah guru atau dosen yang mengasuh mata pelajaran tertentu. Jika evaluasi yang dilakukan itu sasarannya adalah peserta didik, maka subjek evaluasinya adalah guru atau petugas yang sebelum melaksanakan evaluasi tentang sikap itu, terlebih dahulu telah memperoleh pendidikan atau latihan mengenai cara-cara menilai sikap seseorang. Adapun apabila sasaran yang dievaluasi adalah kepribadian peserta didik, di mana pengukuran tentang kepribadian itu dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa tes yang sifatnya baku (Standardized Test), maka subjek evaluasinya tidak bisa lain kecuali seorang psikolog; yaitu seseorang yang memang telah dididik untuk menjadi tenaga ahli yang profesional dibidang psikologi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa disamping alat-alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur kepribadian seseorang itu sifatnya rahasia, juga hasil-hasil pengukuran yang diperoleh dari tes kepribadian itu, hanya dapat diinterpretasi dan disimpulkan oleh para psikolog tersebut, tidak mungkin dapat dikerjakan oleh orang lain.

3. Landasan Pendidikan

a. Filosofi

Pendidikan biasanya berawal pada saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.

Banyak orang yang lain, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya."

Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.

b. Yuridis

UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas

Bagian Ketujuh: Pendidikan Anak Usia Dini

Pasal 28

(1) Pendidikan dasar usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan/atau informal.

(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Penjelasan

Pasal 28

(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan prasayarat untuk mengikuti pendidikan dasar.

  1. Cukup jelas


(3) Taman kanak-kanak (TK) menyelenggarakan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Raudhatul Athfal (RA) menyelenggarakan pendidikan keagamaan Islam yang menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi diri seperti pada taman kanak-kanak.

(4) Cukup jelas

(5) Cukup jelas

(6) Cukup jelas

c. Psikologi

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri.a. Psikologi Perkembangan Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah : (Nana Syaodih, 1988)1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual. Sementara itu Stanley Hall penganut teori Evolusi dan teori Rekapitulasi membagi masa perkembangan anak sebagai berikut (Nana Syaodih, 1988)1. Masa kanak-kanak ialah umur 0 – 4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.2. Masa anak ialah umur 4 – 8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu3. Masa muda ialah umur 8 – 12 tahun sebagai manusia belum berbudaya4. Masa adolesen ialah umur 12 – dewasa merupakan manusi berbudaya b. Psikologi BelajarBelajar adalah perubahan perilaku yang relative permanent sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat, atau kecelakaan) dan bias melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengkomunikasikan kepada orang lain. Ada sejumlah prinsip belajar menurut Gagne (1979) sebagai berikut :

1. Kontiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang respon anak yang diharapkan, beberapa kali secara berturut-turut.

2. Pengulangan, situasi dan respon anak diulang-ulang atau dipraktekkan agar belajar lebih sempurna dan lebih lama diingat.

3. Penguatan, respon yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan menguatkan respon itu.

4. Motivasi positif dan percaya diri dalam belajar.

5. Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak-anak

6. Ada upaya membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi dalam mengajar

7. Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak-anak dalam belajar

8. Aspek-aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh factor-faktor dalam pengajaran.

d. Sosiologis

a. Pengertian Landasan Sosiologis

Dasar sosiolagis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masayarakat.Sosiologi pendidikan merupakan analisi ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiolagi pendidikan meliputi empat bidang:

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain.

2. Hubunan kemanusiaan.

3. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.

4. Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya.

b. Masyarakat indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional

Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan komplek.

Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 nonpenataran)


4. Jenjang pendidikan

Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

  • Pendidikan anak usia dini

Mengacu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

  • Pendidikan dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

  • Pendidikan menengah

Pendidikan menengah merupakan jenjang pendidikan lanjutan pendidikan dasar. yang harus dilaksanakan minimal 9 tahun

  • Pendidikan tinggi

Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, doktor, dan spesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mata pelajaran pada perguruan tinggi merupakan penjurusan dari SMA, akan tetapi semestinya tidak boleh terlepas dari pelajaran SMA.

  • Materi pendidikan

Materi Pendidikan harus disajikan memenuhi nilai-nilai hidup. nilai hidup meliputi nilai hidup baik dan nilai hidup jahat. penyajiannya tidak boleh pendidikan sifatnya memaksa terhadap anak didik, tetapi berikan kedua nilai hidup ini secara objektif ilmiah. dalam pendidikan yang ada di Indonesia tidak disajikan nilai hidup, sehingga bangsa Indonesia menjadi kacau balau seperti sekarang ini.


5. Jalur pendidikan

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

  • Pendidikan formal

Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi.

  • Pendidikan nonformal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.

Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar.

Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.

Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

  • Pendidikan informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

  1. Jenis pendidikan

Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

    • Pendidikan umum

Pendidikan umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bentuknya: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

    • Pendidikan kejuruan

Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Bentuk satuan pendidikannya adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).jenis ini termasuk ke dalam pendidikan formal.

    • Pendidikan akademik

Pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu.

    • Pendidikan profesi

Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memasuki suatu profesi atau menjadi seorang profesional.

Salah satu yang dikembangkan dalam pendidikan tinggi dalam keprofesian adalah yang disebut program diploma, mulai dari D1 sampai dengan D4 dengan berbagai konsentrasi bidang ilmu keahlian. Konsentrasi pendidikan profesi dimana para mahasiswa lebih diarahkan kepada minat menguasai keahlian tertentu. Dalam bidang keahlian dan keprofesian khususnya Desain Komunikasi Visual terdapat jurusan seperti Desain Grafis untuk D4 dan Desain Multimedia untuk D3 dan Desain Periklanan (D3). Dalam proses belajar mengajar dalam pendidikan keprofesian akan berbeda dengan jalur kesarjanaan (S1) pada setiap bidang studi tersebut.

    • Pendidikan vokasi

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal dalam jenjang diploma 4 setara dengan program sarjana (strata 1).

    • Pendidikan keagamaan

Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan dan pengalaman terhadap ajaran agama dan /atau menjadi ahli ilmu agama.

    • Pendidikan khusus

Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif (bergabung dengan sekolah biasa) atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah (dalam bentuk Sekolah Luar Biasa/SLB).



















BAB II

UNSUR - UNSUR TERSELENGGARAKAN

PROSES PENDIDIKAN

1. Kurikulum

Selayang Pandang Perjalanan Kurikulum Nasional

Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan direncanakan pada tahun 2004. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

a. Kurikulum 1968 dan sebelumnya

Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.

Setelah Rentjana Pelajaran 1947, pada tahun 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan. Pada tahun 1952 ini diberi nama Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.

Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.

Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.

b. Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut.

Berorientasi pada tujuan

  1. Menganut pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.

  2. Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.

  3. Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.

Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).

Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.

    • Kurikulum 1984

Secara umum dasar perubahan kurikulum 1975 ke kurikulum 1984 di antaranya adalah sebagai berikut.

  1. Terdapat beberapa unsur dalam GBHN 1983 yang belum tertampung ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah

  2. Terdapat ketidakserasian antara materi kurikulum berbagai bidang studi dengan kemampuan anak didik

  3. Terdapat kesenjangan antara program kurikulum dan pelaksanaannya di sekolah

  4. Terlalu padatnya isi kurikulum yang harus diajarkan hampir di setiap jenjang.

  5. Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) sebagai bidang pendidikan yang berdiri sendiri mulai dari tingkat kanak-kanak sampai sekolah menengah tingkat atas termasuk Pendidikan Luar Sekolah.

  6. Pengadaan program studi baru (seperti di SMA) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan lapangan kerja.

Atas dasar perkembangan itu maka menjelang tahun 1983 antara kebutuhan atau tuntutan masyarakat dan ilmu pengetahuan/teknologi terhadap pendidikan dalam kurikulum 1975 dianggap tidak sesuai lagi, oleh karena itu diperlukan perubahan kurikulum. Kurikulum 1984 tampil sebagai perbaikan atau revisi terhadap kurikulum 1975. Kurikulum 1984 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Berorientasi kepada tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.

  2. Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor.

  3. Materi pelajaran dikemas dengan nenggunakan pendekatan spiral. Spiral adalah pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.

  4. Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

  5. Materi disajikan berdasarkan tingkat kesiapan atau kematangan siswa. Pemberian materi pelajaran berdasarkan tingkat kematangan mental siswa dan penyajian pada jenjang sekolah dasar harus melalui pendekatan konkret, semikonkret, semiabstrak, dan abstrak dengan menggunakan pendekatan induktif dari contoh-contoh ke kesimpulan. Dari yang mudah menuju ke sukar dan dari sederhana menuju ke kompleks.

  6. Menggunakan pendekatan keterampilan proses. Keterampilan proses adalah pendekatan belajat mengajar yang memberi tekanan kepada proses pembentukkan keterampilan memperoleh pengetahuan dan mengkomunikasikan perolehannya. Pendekatan keterampilan proses diupayakan dilakukan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pelajaran.

    • Kurikulum 1994

Pada kurikulum sebelumnya, yaitu kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar dengan kurang memperhatikan muatan (isi) pelajaran. Hal ini terjadi karena berkesesuaian suasan pendidikan di LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) pun lebih mengutamakan teori tentang proses belajar mengajar. Akibatnya, pada saat itu dibentuklah Tim Basic Science yang salah satu tugasnya ikut mengembangkan kurikulum di sekolah. Tim ini memandang bahwa materi (isi) pelajaran harus diberikan cukup banyak kepada siswa, sehingga siswa selesai mengikuti pelajaran pada periode tertentu akan mendapatkan materi pelajaran yang cukup banyak.

Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup banyak.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut.

  1. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan

  2. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi)

Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.

Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit, dan dari hal yang sederhana ke hal yang komplek.

Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman siswa.

Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut.

Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran

Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

Permasalahan di atas terasa saat berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan itu diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994. Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan kurikulum, yaitu

Penyempurnaan kurikulum secara terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.

Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.

Penyempurnaan kurikulum dilakukan untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.

Penyempurnaan kurikulum mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti tujuan materi, pembelajaran, evaluasi, dan sarana/prasarana termasuk buku pelajaran.

Penyempurnaan kurikulum tidak mempersulit guru dalam mengimplementasi kannya dan tetap dapat menggunakan buku pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.

Penyempurnaan kurikulum 1994 di pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.


    • Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi Tahun 2002 dan 2004

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soejadi (1994:36), khususnya dalam mata pelajaran matematika mengatakan bahwa kegiatan pembelajaran matematika di jenjang persekolahan merupakan suatu kegiatan yang harus dikaji terus menerus dan jika perlu diperbaharui agar dapat sesuai dengan kemampuan murid serta tuntutan lingkungan.

Implementasi pendidikan di sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk inovasi yang dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 perlu disempurnakan lagai sebagai respon terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Kurikukum yang dikembangkan saat ini diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi. Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah ditetapkan. Competency Based Education is education geared toward preparing indivisuals to perform identified competencies (Scharg dalam Hamalik, 2000: 89). Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu kurikulum berbasis kompetensi sebagai pedoman pembelajaran.

Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.


Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu (Puskur, 2002a). Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut.



(1) Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.

(2) Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.

(3) Kompeten merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.

(4) Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.

(Puskur, 2002a).


Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a).

Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

  1. Pemilihan kompetensi yang sesuai;

  2. Spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;

  3. Pengembangan sistem pembelajaran.

  4. Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

    1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

    2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

    3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

    4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

    5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

(Puskur, 2002a).

Struktur kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi (kemampuan) dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa. Mari kita lihat contohnya dalam mata pelajaran matematika, Kompetensi dasar matematika merupakan pernyataan minimal atau memadai tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau subaspek mata pelajaran matematika. (Puskur, 2002b). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika merupakan gambaran kompetensi yang seharusnya dipahami, diketahui, dan dilakukan siswa sebagai hasil pembelajaran mata pelajaran matematika. Kompetensi dasar tersebut dirumuskan untuk mencapai keterampilan (kecakapan) matematika yang mencakup kemampuan penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika.

Struktur kompetensi dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.

Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level. Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?”. Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.

Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator. Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?”. Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.




    • Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)

Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Implementasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi, (2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.

Kurikulum dipahami sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di setiap satuan pendidikan.

Secara substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:

  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.

  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.

  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.

  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.

Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi – misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.


2. Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.

3. Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.

Berikut ini, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan Standar Sarana dan Prasarana.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), dan Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA).

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No 40 Tahun 2008 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).


DAFTAR PUSTAKA



http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan#Jenjang_pendidikan


http://syamsulberau.wordpress.com/2007/11/16/landasan-pendidikan/


http://sumarjispendu.blogspot.com/2008/06/ideologi-pendidikan-dan-pengajaran.html?zx=2b3785facce1a5f0


http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/objek-dan-subjek-evaluasi-pendidikan


http://www.bpkpenabur.or.id/id/node/3567


http://fatamorghana.wordpress.com/2008/07/12/bab-iii-landasan-dan-asas-asas-pendidikan-serta-penerapannya/


http://fatamorghana.wordpress.com/2008/07/11/bab-ii-pengertian-dan-unsur-unsur-pendidikan/


http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/16/bagaimanakah-perjalanan-kurikulum-nasional-pada-pendidikan-dasar-dan-menengah/


http://www.bsnp-indonesia.org/standards-sarana.php




PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA

PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA

Oleh Masnur Muslich
Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dika­ta­kan mempunyai sistem, dalam pemakaiannya selalu timbul ma­saIah masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bu­nyi, bentukan kata, penulisan, maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemakai baha­sa yang bersangkutan. Oleh sebab itu, timbulnya masalah keba­hasaan pada bahasa tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia, tidak berarti bahasa itu kurang maju, kurang mapan, dan sebagainya.

Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema problema. Setelah dikelompokkan, paling tidak ada tujuh problema, yaitu

(1) problema akibat bentukan baru,
(2) pro­b­lema akibat kontaminasi,
(3) problema akibat adanya unsur serapan,
(4) problema akibat analisis,
(5) problema akibat perlakuan kluster,
(6) problema akibat proses morfologis bentuk serapan, dan
(7) problema akibat perlakuan bentuk majemuk.

Berturut-turut, jenis problema di atas dibicarakan berikut ini.

A.Problema Akibat Bentukan Baru
Pada akhir akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai ha­sil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk member­­hentikan, memberlakukan, keberhasilan, keterbelakangan, dikesa­nakan, dikekirikan, turinisasi, lelenisasi, duniawi, dan badani, misal­nya dalam kalimat:

1)Direktur CV "Marga" telah memberhentikan sekretarisnya.
2) Apakah Saudara tidak tahu bahwa Ketua RT telah mem­berlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu?
3) Keberhasilan yang Anda capai selama ini harus Anda pertahan­kan.
4) Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5)Agar tidak semrawut, barang barang ini perlu dikesanakan.
6)Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan saja.
7)Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8)Program lelenisasi sangat tepat dilaksanakan di da­e­rah da­e­rah ra­wa.
9)Sebagai manusia sosial, kita harus manusiawi terhadap se­sama.
10)Menurut cerita barang siapa minum air surgawi akan awet muda.

Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks + prefiks + bentuk dasar + sufiks) sebelumnya tidak di­te­mu­kan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan: "Apa­kah di­­benarkan suatu konstruksi yang dibentuk dengan dua prefiks?". Pertanyaan itu sebenarnya akibat ketidaktahuannya atas pro­ses pembentukan konstruksi di atas. Konstruksi ini memang terdiri atas empat morfem, tetapi pembentukannya tidak secara screntak. Konstruksi ini dibentuk secara bertahap. Perta­ma, konstruksi ini dibentuk dari gabungan {ber } dan henti. La­lu, konstruksi berhenti dibentuk dengan menambahkan {meN } dan { kan} (sebagai sumulfiks), sehingga berkonstruksi memberhentikan. Begitu juga konstruksi memberlakukan. Perta­ma­tama, konstruksi itu dibentuk dari ber dan laku. Dari bentuk ber­­­laku, dibentuklah memberlakukan, dengan menambahkan {men N} dan kan (sebagai simulfiks). Kalau divisualkan, itu terlihat pada diagram beri­kut.


memberhentikan memberlakukan


meN kam // berhenti meN-kan // berlaku


ber // henti ber- // laku


Dari diagram itu juga terlihat bahwa bentuk dasar konstruk­si mem­berhentikan adalah berhenti, sedangkan ben-tuk dasar kon­struk­si memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Bentuk henti dan laku adalah bentuk asal dari konstruksi itu. De­­­ngan demikian, walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu te­tap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruksi diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konstruksi keberhasilan dan keterbelakang­­an? Proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pem­­bentukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. De­mikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesanakan dan dikekirikan merupakan bentuk ba­ru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini berbentuk dasar frase, yaitu ke sana, ke kiri, ke sam­ping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak selalu monomorfemis, tetapi dapat juga polimorfe­mis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morfem. Begi­­tu juga bentuk dasar suatu konstruksi dapat ber­bentuk morfem terikat, morfem bebas, baik kata maupun frase. (Sebagai pe­nge­cek­an, silakan diteliti kata kata yang telah meng­­alami proses mor­fologis!)
Konstruksi turinisasi dan lelenisasi juga merupakan bentuk ba­ru sebagai akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks { (n)isasi} berasal dari ba­hasa Inggris (n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk dasar bahasa yang bersangkutan, misalnya modernisasi ("modernization"), standardisasi (standar­di­za­ti­on"), me­kanisasi ("mechanization"), berarti 'hal yang berhu­bunga­n dengan bentuk dasarnya' yang berfungsi pembendaan secara abstrak. Setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, afiks { (n)isasi} di­coba digabungkan dengan bentuk dasar baha­sa Indo­nesia untuk arti dan fungsi yang sama, misalnya dengan ben­­tuk da­sar turi, lele, pompa, sehingga timbullah konstruksi tu­ri­nisasi, lelenisasi, pompanisasi. Bahkan, tidak menutup kemung­­kinan apabila timbul konstruksi baru selain ketiga konstruksi di atas. (Apa­­kah Anda menemukannya?)
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawi dan surgawi. Konstruksi itu mengalami pro­ses morfologis dengan jalan menambahkan morfem afiks { wi} pada bentuk dasar manusia dan surga. Kita tahu bahwa morfem afiks { wi} atau { i }apabila bentuk dasarnya berakhir dengan kon­sonan) berasal dari bahasa Arab, sedangkan bentuk manusia (Mly) dan sur­ga bukan dari bahasa Arab. Konstruksi yang bentuk da­sarnya berasal dari bahasa Arab ialah duniawi, ukhrawi, insani, dan alami, yang masing masing diadaptasikan dari "duni­ya­wiyyun" "ukhrawiyyun", "insaniy-yun"'dan "ala­miyyun".
Ternyata, akhiran wi ( i) yang berasal dari bahasa Arab itu, setelah terserap ke dalam bahasa Indonesia, diperlakukan se­­bagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks wi ( i) se­­karang mampu bergandeng dengan bentuk dasar selain dari ba­hasa aslinya (bahasa Arab) sebagaimana contoh di atas. Sehu­bungan dengan itu, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan pemakaian afiks wi dan i. Afiks wi dipakai pada bentuk da­sar yang berakhir dengan vokal, sedangkan afiks i dipakai pada bentuk dasar yang berakhir dengan konsonan. Oleh sebab itu, konstruksi *gerejani dianggap sebagai konstruksi yang salah sebab afiks * ni tidak ada. Konstruksi itu diduga sebagai hasil analogi yang salah terhadap bentuk badani, insani. Bentuk itu dikiranya bersufiks * ni, padahal sebenarnya bersufiks i. Dengan demikian, yang benar adalah gerejawi sebab bentuk dasarnya, gereja, berakhir dengan vokal.

B.Problema Akibat Kontaminasi
Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang menga-caukan konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus ber­diri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, kon­­struksi itu menjadi kacau atau rancu artinya. Kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya *diper­le­bar­kan, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuraduk-k­an konstruksi diperlebar dan dilebarkan yang masing masing ber­arti 'dibuat jadi lebih besar lagi' dan 'dibuat jadi lebar'. Oleh sebab itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi *mengenyampingkan juga dianggap sebagai kon­struk­si yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruk­si mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping pada bentuk dasar ke samping. Peluluhan seperti itu salah sebab bunyi [s] bukan bunyi awal bentuk da­sar. Bunyi awal bentuk dasar ke samping adalah [k]. Oleh sebab itu, bunyi [k] lah yang diluluhkan apabila bergabung dengan morfem {meN kan}. jadi, yang benar adalah mengesampingkan.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran kon­struksi dipelajari dan diajarkan, yang masing masing mempu­nyai arti tersendiri. Dengan pencampuran itu artinya menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang ran­cu.
Bagaimana cara pemecahannya? Tidak ada jalan lain kecuali pe­makai bahasa Indonesia harus mengetahui konstruksi yang s­emestinya untuk arti tertentu. Di samping itu, ia harus juga me­­ngetahui konstruksi konstruksi yang tergolong rancu dan me­ngetahui juga alasannya. Sebab, logis sekali, jika ingin me­nge­­­tahui yang benar, orang harus mengetahui pula yang salah. Dengan cara itu, ia akan lebih jeli dan cermat memilih, menggunakan, dan menerangkan se­tiap bentukan kata.

C.Problem Akibat Unsur Serapan
Adanya unsur bahasa asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Hal itu terlihat pa­da kekacauan dan keragu raguan pemakaian bentuk da­ta­data, datum datum, data, datum; fakta fakta, faktum faktum, fak­ta, fak­tum; alumni, alumnus, para alumni, para alumnus. Kita tahu bah­wa ka­ta data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus ber­asal dari bahasa Latin, yang masing masing pa­sangan kata itu berarti 'jamak' dan 'tunggal'. Ternyata, dari pa­sangan itu yang terserap ke dalam bahasa Indonesia hanyalah bentuk jamaknya, yaitu data, fakta, dan alumni, sedangkan bentuk tung­gal­­nya, yaitu datum, faktum, dan alumnus, tidak terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Masalah selanjutnya adalah: "Apa bentuk tunggalnya apa­bila yang terserap hanya bentuk jamaknya?". Bagi orang awam, pertanyaan ini memang logis, tetapi bagi pengamat bahasa per­tanyaan ini terasa janggal. Mengapa? Kita tahu bahwa unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan dengan sendirinya berarti tunggal. Akibatnya, wa­lau­­pun yang diserap bentuk jamaknya, ia lang­sung dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Oleh karena itu, bentuk data, fakta, dan a­lum­ni dianggap sebagai bentuk tunggal. Dengan demikian, konstruk­si da­ta data, fakta fakta, dan para alumni, banyak data, dan banyak fakta di­anggap benar, se­dangkan konstruksi *datum datum, *fak­tum­fak­tum, dan *para alumnus dianggap salah. Sehubungan dengan itu, konstruksi para hadirin, hadirin se­ka­lian, para ulama, para arwah (pahlawan) dianggap benar walaupun dalam bahasa asing­nya (bahasa Arab) bentuk hadirin, ula­ma, arwah berarti 'jamak'.
Bagaimana dengan konstruksi termaktub, menghadiri, mengorganisasi, mengorganisir, memproklamirkan, mendo­minir, dan melegalisir? (Silakan disiasati!)

D.Problema Akibat Analogi
Sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa de­ngan menurut contoh yang sudah ada. Gejala analogi ini sangat pen­ting dalam pemakaian bahasa sebab pada dasarnya pema­kaian bahasa dalam penyusunan kalimat, frase, dan kata berana­logi pada contoh yang telah ada atau yang te­­­lah diketahuinya. Sebagai contoh, dengan adanya bentuk keti­dakadilan, kita dapat membentuk konstruksi ketidakberesan, ketidakbaikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk dikesampingkan, kita dapat membentuk konstruksi dikekanankan, dikesanakan, dikesinikan, dan seterusnya; dengan adanya bentuk pemersa­tu yang berarti 'yang mempersatukan', kita dapat membentuk kon­struksi pemerhati ('yang memperhatikan'); dan, dengan ada­nya pasangan bentuk penyuruh dan pesuruh (yang masing­ ma­sing berarti 'orang yang menyuruh' dan 'orang yang disuruh'), kita dapat membentuk pasangan konstruksi penatar dan pe­tatar, pendaftar dan pedaftar.
Masalah berikutnya, dengan adanya gejala analogi ini, ada­lah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi. Hal itu disebabkan oleh ketidakpahaman mereka terhadap ben­tuk-bentuk yang dicontohkannya dan yang dibuatnya. Misal­nya, kata pihak dijadikan *fihak, kata *anggota dijadikan angga­u­ta, dan kata serapan alternatif dijadikan *alternasi.
Kata pihak dijadikan *fihak, didasarkan contoh bahwa bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan ke bunyi aslinya, yaitu [f]. De­ngan demikian, kata pikir, paham, dan pasal dapat dikemba­likan menjadi fikir, faham, dan fatsal. Pengembalian ini benar se­bab kata pikir, paham, dan pasal berasal dari ba­ha­­sa Arab. Ka­ta pihak disangkanya juga berasal dari bahasa Arab, sehingga ju­ga dikembalikan menjadi *fihak. Padahal, kata pi­hak tidak ber­asal dari bahasa Arab, tetapi dari bahasa Melayu. Oleh sebab itu, kata *fihak dianggap sebagai hasil analogi secara sa­lah. De­ngan demikian, kata pihak lah yang benar.
Begitu juga kata anggota yang dijadikan *anggauta. Orang meng­anggap bahwa kata anggota sebagai hasil sandi dari kata anggauta sehagaimana kata topan dan tobat sebagai hasil sandi da­ri kata taufan dan taubat padahal tidak demikian. Kata ang­­gota bukan hasil sandi kata *anggauta, tetapi kata itu memang as­li. Oleh sebab itu, *anggauta dianggap hasil analogi yang sa­lah. Yang benar adalah anggota.
Kata serapan pun ada yang dianalogikan secara salah. Kata alternatif dijadikan alternasi sebagai akibat analogi yang salah ter­hadap bentuk produktif dan produksi; kompetitif dan kompeti­si; edukatif dan edukasi. Bentuk yang berakhir dangan if biasa­nya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhir dengan si biasa­nya berkelas kata benda. Dikira juga bahwa bentuk alternatif (karena berakhir dengan if) berkelas kata sifat, sehing­ga apabila dibentuk ke kelas kata benda akan menjadi *alternasi. Padahal, itu tidak demikian. Kata alternatif, yang berarti 'pilihan', sudah berkelas kata benda. Oleh sebab itu, tidak perlu di­bendakan lagi menjadi *alternasi. Dengan demikian, pemakaian ka­ta alternatif pada kalimat Untuk mengatasi persoalan itu diperlukan sejumlah alternatif teknik. adalah sudah benar.

E.Problema Akibat Perlakuan Kluster
Kluster atau konsonan rangkap mengundang problema ter­sen­diri dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klus­ter. Kata yang berkluster (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan, misalnya program, pro­kla­masi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata kata ini, apabila dibentuk de­­ngan afiks yang bernasal, misalnya {meN (kan/i)} dan {peN (an)}, akan menimbulkan problem: "Apakah konsonan awal­­nya diluluhkan sebagai-mana konsonan k, p, t, s, dalam ka­ta baha­sa Indonesia asli?". Manakah yang benar dari deretan berikut?




I II

memprogramkan memrogramkan
pemrograman pemrograman
memproklamasikan memroklamasikan
pemproklamasian pemroklamasian
mentraktir menraktir
pentraktiran penraktiran
mentransfer menransfer
pentransferan penransferan
mensponsori menyponsori, menyeponsori
pensponsoran penyponsoran, penyeponsoran
menstandarkan menytandarkan, menyetandarkan
penstandaran penytandaran, penyetandaran
mengklasifikasikan menglasifikasikan
pengklasifikasian penglasifikasian
mengkritik mengritik
pengkritikan pengritikan


Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung me­milih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
a) bentuk serapan di atas berbe­da sifatnya dengan bentuk da­sar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal de­ngan k, p, t, s);
b)apabila diluluhkan, kemungkinan be­sar akan menyu-litkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
c)ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesa­lahpa­ha­man arti.

Oleh sebab itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berkluster.

F.Problema Akibat Proses Morfologis Unsur Serapan
Masalah ini ada kesamaan dengan masalah sebelumnya, ya­itu berkenan dengan perlakuan unsur asing. Hanya saja, yang menjadi tekanan di sini adalah proses morfologisnya.
Kita tahu bahwa hampir semua bentuk serapan dalam baha­sa lndonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah "Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang se­lama ini diterapkan dalam bentuk bentuk bahasa Indonesia asli?". Masalah itu timbul karena selama ini terdapat persaing­an pemakaian pasangan konstruksi, misalnya menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan me­markir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruk­si yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?
Sebelum menjawab persoalan itu kiranya perlu diketahui si­­fat atau kondisi bentuk serapan. Pada dasarnya, bentuk serap­an dapat dikelompokkan menjadi dua:

(1) bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga su­­dah tidak terasa lagi keasingannya, dan
(2)bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa ke­asingannya.

Bentuk se­rapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara pe­nuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses mor­­fologisnya, sedangkan kelompok kedua belum dapat di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Ber­dasarkan rambu rambu ini, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap ke dalam bahasa Indonesia atau be­lum. Kalau sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut di­perlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah dig­abung dengan {meN kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sis­tem bahasa Indonesia, fon [p] yang mengawali bentuk da­sar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN (kan/i)} dan {peN (an)}. Bagaimana dengan bentuk sup­lai, parkir, dan kalkula­si? Silakan disiasati!

G.Problema Akibat Perlakuan Bentuk Majemuk
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat di sini ada­lah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungja­wab­an dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan ne­gara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu ter­­­­lihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan ben­­­­tuk majemuk yang unsur unsurnya dianggap renggang. Pen­­­dapat pertama menganggap unsur unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mung­k­in disisipi bentuk lain di antaranya. Apabila ditempeli awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur per­ta­ma dan atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat ke­dua meng­anggap unsur unsur bentuk tanggung jawab, warga ne­gara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan di­si­si­pi bentuk lain di antaranya. Oleh sebab itu, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan ne­gara, dan menyebarkan luas.
Mana yang tepat dari dua pendapat itu? Kita tahu bahwa su­atu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur un­sur­nya pekat dan padu. Sebaliknya, apabila unsur unsurnya longgar tidak lagi dikatakan sebagai bentuk majemuk, tetapi frase. Dengan demikian, pendapat pertamalah yang tepat, yaitu penda­pat yang memperlakukan unsur unsur bentuk majemuk sebagai satu kesatuan.
Masih banyak problema yang akan terus muncul dalam pembentukan kata bahasa Indonesia. Fenomena ini sebagai tanda bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang hidup dan masih menjalankan fungsinya secara aktif sebagai alat komunikasi bagi pemakainya. Yang penting adalah setiap kali ada fenomena bentukan baru kita harus bisa menyiasatinya dengan arif. Janganlah kita bersikap normatif dan preskriptif yang cenderung menyalahkan setiap fenomena baru yang muncul.

Uraian lebih lanjut silakan baca
Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif Bahasa Indonesia oleh Masnur Muslich (Bumi Aksara, 2008)

Powered By Blogger

AKU CINTA INDONESIA

AKU CINTA INDONESIA